Rabu, 26 Juni 2013

                                                 KEAJAIBAN SHALAT 5 WAKTU

Ali bin Abi Talib r.a. berkata, “Sewaktu Rasullullah SAW duduk bersama para sahabat Muhajirin dan Ansar, maka dengan tiba-tiba datanglah satu rombongan orang-orang Yahudi lalu berkata, ‘Ya Muhammad, kami hendak bertanya kepada kamu kalimat-kalimat yang telah diberikan oleh Allah kepada Nabi Musa A.S. yang tidak diberikan kecuali kepada para Nabi utusan Allah atau malaikat muqarrab.’

Lalu Rasullullah SAW bersabda, ‘Silahkan bertanya.’

Berkata orang Yahudi, ‘Coba terangkan kepada kami tentang 5 waktu yang diwajibkan oleh Allah ke atas umatmu.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Zuhur jika tergelincir matahari, maka bertasbihlah segala sesuatu kepada Tuhannya. Shalat Asar itu ialah saat ketika Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Shalat Maghrib itu adalah saat Allah menerima taubat Nabi Adam a.s.

Maka setiap mukmin yang bershalat Maghrib dengan ikhlas dan kemudian dia berdoa meminta sesuatu pada Allah maka pasti Allah akan mengkabulkan permintaannya.

Shalat Isya itu ialah shalat yang dikerjakan oleh para Rasul sebelumku. Shalat Subuh adalah sebelum terbit matahari. Ini kerana apabila matahari terbit, terbitnya di antara dua tanduk syaitan dan di situ sujudnya setiap orang kafir.’

Setelah orang Yahudi mendengar penjelasan dari Rasullullah saw, lalu mereka berkata, ‘Memang benar apa yang kamu katakan itu Muhammad. Katakanlah kepada kami apakah pahala yang akan diperoleh oleh orang yang shalat.’

Rasullullah SAW bersabda, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama shalat yang pertengahan. Shalat Zuhur, pada saat itu nyalanya neraka Jahanam. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat pada ketika itu akan diharamkan ke atasnya uap api neraka Jahanam pada hari Kiamat.’

Sabda Rasullullah saw lagi, ‘Manakala shalat Asar, adalah saat di mana Nabi Adam a.s. memakan buah khuldi. Orang-orang mukmin yang mengerjakan shalat Asar akan diampunkan dosanya seperti bayi yang baru lahir.’

Selepas itu Rasullullah saw membaca ayat yang bermaksud, ‘Jagalah waktu-waktu shalat terutama sekali shalat yang pertengahan. Shalat Maghrib itu adalah saat di mana taubat Nabi Adam a.s. diterima. Seorang mukmin yang ikhlas mengerjakan shalat Maghrib kemudian meminta sesuatu daripada Allah, maka Allah akan perkenankan.’

Sabda Rasullullah saw, ‘Shalat Isya’ (atamah). Katakan kubur itu adalah sangat gelap dan begitu juga pada hari Kiamat, maka seorang mukmin yang berjalan dalam malam yang gelap untuk pergi menunaikan shalat Isyak berjamaah, Allah S.W.T haramkan dirinya daripada terkena nyala api neraka dan diberikan kepadanya cahaya untuk menyeberangi Titian Sirath.’

Sabda Rasullullah saw seterusnya, ‘Shalat Subuh pula, seseorang mukmin yang mengerjakan shalat Subuh selama 40 hari secara berjamaah, diberikan kepadanya oleh Allah S.W.T dua kebebasan yaitu:

1. Dibebaskan daripada api neraka.2. Dibebaskan dari nifaq.



ADZAB ORANG YANG LALAI DALAM SHALAT

Allahu Akbar…!,Allahu Akbar..!,Allahu Akbar…!,Allahu Akbar...!

“Duh..! Sudah adzan, sebentar lagi ah Shalatnya… tanggung kerjaannya tinggal sedikit lagi.”

“Eh kok adzan..? Padahal bola-nya lagi seru nih vinal..! Nanti saja Shalatnya kalau Bola-nya sudah selesai ah. Tapi waktu Shalatnya nanti keburu habis..?! Tunggu iklan saja dech kalau begitu, Shalatnya juga harus cepat-cepet nich..!”

Astagfirullah…Astagfirullah… Astagfirullah…

Ketahui-lah akhi wal ukhti bahwa orang-orang tersebut di atas termasuk jenis orang yang melalaikan shalatnya. Perhatikan-lah firman Allah, yang artinya:“Maka kecelakaan-lah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maa’uun: 4-5)

Al-Haafidz Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala berkata, yang dimaksud orang-orang yang lalai dari shalatnya adalah:

1. Orang tersebut menunda shalat dari awal waktunya sehingga ia selalu mengakhirkan sampai waktu yang terakhir.

2. Orang tersebut tidak melaksanakan rukun dan syarat shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Orang tersebut tidak khusyu’ dalam shalat dan tidak merenungi makna bacaan shalat.

Dan siapa saja yang memiliki salah satu dari ketiga sifat tersebut maka ia termasuk bagian dari ayat ini (yakni termasuk orang-orang yang lalai dalam shalatnya).

♥ Apa Adzabnya ?

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dari sahabat Samurah bin Junab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang panjang tentang sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam kisah tentang mimpi Beliau):

“Kami mendatangi seorang laki-laki yang terbaring dan ada juga yang lain yang berdiri sambil membawa batu besar, tiba-tiba orang tersebut menjatuhkan batu besar tadi ke kepala laki-laki yang sedang berbaring dan memecahkan kepalanya sehingga berhamburan-lah pecahan batu itu di sana sini, kemudian ia mengambil batu itu dan melakukannya lagi. Dan tidak-lah ia kembali mengulangi lagi hal tersebut sampai kepalanya utuh kembali seperti semula dan ia terus-menerus mengulanginya seperti semula dan ia terus-menerus mengulanginya seperti pertama kali.”

Disebutkan dalam penjelasan hadits ini “Sesungguhnya laki-laki tersebut adalah orang yang mengambil Al-Qur’an dan ia menolaknya, dan orang yang tidur untuk meninggalkan shalat wajib.”

Lalu Bagaimana Orang yang Meninggalkan Shalat Secara Mutlak..?

Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat secara keseluruhan hukumnya kafir keluar dari Islam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Perbedaan antara kita (Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barang-siapa yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir.”(HR. At-Tirmidzi - Shahih)

Demikian-lah Akhi wal Ukhti, mari-lah kita bersama-sama berusaha se maksimal mungkin untuk memperbaiki shalat kita.Karena ketahui-lah bahwa amalan yang pertama akan dihisab oleh Allah di akhirat nanti adalah shalat. Dan kita memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari kehinaan dan kondisi orang-orang yang di Adzab Allah karena lalai dari shalat...

Na'udzubillahi min dzalik..!


HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SELURUH SAUDARAKU UMAT MUSLIM !!!! LARANGAN JIDAL(BERDEBAT)

WAJIB BACA !!!!!

1. Nabi Muhammad shållallåhu ‘alayhi wa sallam

“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.”

(HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)

2. Nabi Sulaiman ‘alaihissalam

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berkata kepada putranya: “Tinggalkanlah mira’ (jidal, mendebat karena ragu-ragu dan menentang) itu, karena manfaatnya sedikit. Dan ia membanAgkitkan permusuhan di antara orang-orang yang bersaudara.” [Ad-Darimi: 309, al Baihaqi, Syu’abul Iman: 1897]
3. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhumaa
“Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.”
[al-Fakihi dalam Akhbar Makkah]
4. Abud Darda radhiyallahu ‘anhu
“Engkau tidak menjadi alim sehingga engkau belajar, dan engkau tidak disebut mengerti ilmu sampai engkau mengamalkannya. Cukuplah dosamu bila kamu selalu mendebat, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu menentang. Cukuplah dustamu bila kamu selalu berbicara bukan dalam dzikir tentang Allah.”
[Darimi: 299]
5. Muslim Ibn Yasar rahimahullah
“Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404]
6. Hasan Bashri rahimahullah
Ada orang datang kepada Hasan Bashri rahimahullah lalu berkata,
“Wahai Abu Sa’id kemarilah, agar aku bisa mendebatmu dalam agama!”
Maka Hasan Bashri rahimahullah berkata:
“Adapun aku maka aku telah memahami agamaku, jika engkau telah menyesatkan (menyia-nyiakan) agamamu maka carilah.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 588]
7. Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah
“Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka ia akan banyak berpindah-pindah (agama).”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 565]
8. Abdul Karim al-Jazari rahimahulah
“Seorang yang wira’i1 tidak akan pernah mendebat sama sekali.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 636; Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]
9. Ja’far ibn Muhammad rahimahullah
“Jauhilah oleh kalian pertengkaran dalam agama, karena ia menyibukkan (mengacaukan) hati dan mewariskan kemunafikan.”
[Baihaqi dalam Syu’ab: 8249]
10. Mu’awwiyah ibn Qurrah rahimahullah
“Dulu dikatakan: pertikaian dalam agama itu melebur amal.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 562]
11. al Auza’i rahimahullah
“Jika Allah menghendaki keburukan pada suatu kaum maka Allah menetapkan jidal pada diri mereka dan menghalangi mereka dari amal.”
[Siyar al-A’lam 16/104; Tadzkiratul Huffazh: 3/924; Tarikh Dimsyq: 35/202]
12. Imran al-Qashir rahimahullah
“Jauhi oleh kalian perdebatan dan permusuhan, jauhi oleh kalian orang-orang yang mengatakan: Bagaimana menurutmu, bagaimana pendapatmu.”
[Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra: 639]
13. Muhammad ibn Ali ibn Husain rahimahullah
“Pertikaian itu menghapuskan agama dan menumbuhkan permusuhan di hati orang-orang.”
[al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]
14. Abdullah ibn Hasan ibn Husain rahimahullah
Dikatakan kepada Abdullah ibn al Hasan ibn al Husain rahimahullah,
“Apa pendapatmu tentang perdebatan (mira’)?”
Dia menjawab:
“Merusak persahabatan yang lama dan mengurai ikatan yang kuat. Minimal ia akan menjadi sarana untuk menang-menangan itu adalah sebab pemutus talit silaturrahim yang paling kuat.”
[Tarikh Dimasyq: 27-380]
15. Bilal ibn Sa’d rahimahullah (kedudukannya di Syam sama dengan Hasan Bashri di Bashrah)
“Jika kamu melihat seseorang terus-terusan menentang dan mendebat maka sempurnalah kerugiannya.”
[al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]
16. Wahab ibnu Munabbih rahimahullah
“Tinggalkanlah jidal dari perkaramu, karena ia tidak akan dapat mengalahkan salah satu dari dua orang: seseorang yang lebih alim darimu, bagaimana engkau memusuhi dan mendebat orang yang lebih alim darimu? Dan seseorang yang engkau lebih alim daripadanya, bagaimana engkau memusuhi orang yang engkau lebih alim daripadanya dan ia tidak mentaatimu? Maka tinggalkanlah itu.”
[Tahdzibul Kamal: 31/148; Siyarul A’lam: 4/549; Tarikh Dimasyq: 63/388]
17. Malik ibnu Anas rahimahullah
Ma’n rahimahullah berkata:
“Pada suatu hari Imam Malik ibn Anas berangkat ke masjid sambil berpegangan pada tangan saya, lalu beliau dikejar oleh seseorang yang dipanggil dengan Abu al-Juwairah yang dituduh memiliki Aqidah Murji’ah.”
Dia berkata:
‘Wahai Abu Abdillah dengarkanlah dariku sesuatu yang ingin saya kabarkan kepada anda, saya ingin mendebat anda dan memberi tahu anda tentang pendapatku.’
Imam Malik berkata,
‘Hati-hati, jangan sampai aku bersaksi atasmu.’
Dia berkata,
‘Demi Allah, saya tidak menginginkan kecuali kebenaran. Dengarlah, jika memang benar maka ucapkan.’
Imam Malik bertanya,
‘Jika engkau mengalahkan aku?’
Dia menjawab,
‘Maka ikutlah aku!’
Imam Malik bertanya lagi,
‘Kalau aku mengalahkanmu?’
Dia menjawab,
‘Aku mengikutimu?’
Imam Malik bertanya,
‘Jika datang orang ketiga lalu kita ajak bicara dan kita dikalahkannya?’
Dia berkata,
‘Ya kita ikuti dia.’
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Hai Abdullah, Allah azza wa jalla telah mengutus Muhammad dengan satu agama, aku lihat engkau banyak berpindah-pindah (agama), padahal Umar ibnu Abdil Aziz telah berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai sasaran untuk perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah”.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
”Jidal dalam agama itu bukan apa-apa (tidak ada nilainya sama sekali).”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Percekcokan dan perdebatan dalam ilmu itu menghilangkan cahaya ilmu dari hari seorang hamba.”
Imam Malik rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya jidal itu mengeraskan hati dan menimbulkan kebencian.”
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki ilmu sunnah, apakah ia boleh berdebat membela sunnah? Dia menjawab,
”Tidak, tetapi cukup memberitahukan tentang sunnah.”
(Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik, Qadhi Iyadh: 1/51; Siyarul A’lam: 8/106; al-Ajjurri dalam al-Syari’ah, hal.62-65)
18. Muhammad ibn Idris as-Syafi’I rahimahullah
“Percekcokan dalam agama itu mengeraskan hati dan menanamkan kedengkian yang sangat.”
[Thobaqat Syafiiyyah 1/7, Siyar, 10/28]
19. Ahmad bin Hambal rahimahullah
Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh seseorang,
“Saya ada di sebuah majelis lalu disebutlah didalamnya sunnah yang tidak diketahui kecuali oleh saya, apakah saya mengatakan?”
Dia menjawab:
“Beritakanlah sunnah itu, dan janganlah mendebat karenanya!”
Orang itu mengulangi pertanyaannya, maka Imam Ahmad rahimahullah berkata:
“Aku tidak melihatmu kecuali seorang yang mendebat.”
[al-Adab as-Syar’iyyah: 1/358, dalam bab menyebar sunnah dengan ucapan dan perbuatan tanpa perdebatan dan kekerasan; al-Bashirah fid-Da’wah Ilallah: 57]
20. Shafwan ibn Muhammad al-Mazini rahimahullah
Saat Shafwan rahimahullah melihat para pemuda berdebat di Masjid Jami’ maka ia mengibaskan tangannya sambil berkata:
“Kalian adalah jarab2, kalian adalah jarab.” [Ibnu Battah: 597]
Dahulu dikatakan:
“Janganlah engkau mendebat orang yang santun dan orang yang bodoh; orang yang santun mengalahkanmu, sedang orang yang bodoh menyakitimu.”
[Al-Adab al-Syar’iyyah: 1/23]
“Ya Allah jauhkanlah kami dari jidal, dan anugerahkan pada kami istiqomah. Janganlah Engkau simpangkan hati kami setelah engkau memberi hidayah pada kami.”
Aamiin.
Sumber: alqiyamah
Wasiat asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Ali al-Yamani al-Wushobi al-Abdali
Wahai Penuntut ilmu, jika kamu membuka pintu debat bersama temanmu maka sungguh kamu telah membuka pintu penyakit fitnah buat dirimu. Apabila seseorang penuntut ilmu tidak menjauhkan diri darinya tentu akan mendapatkan marabahaya.
Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
ما ضل قوم بعد هدى كا نوا عليه إلاأوتواالجدال : ثم قرأ : ماضربوه لك إلاجد لا بل هم قوم خصمون – رواه الترمذي عن أبي أمامة الباهلي –
ِArtinya : “Tidaklah sesat suatu kaum setelah mereka mendapatkan petunjuk kecuali Allah berikan kepada mereka ilmu debat. Kemudian beliau membaca : mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.”
(HR Tirmidzi dari Abu Umamah al Bahily)
Saya masih teringat seorang teman ketika awal belajar di Madinah, mungkin kurang lebih dua puluh empat atau dua puluh lima tahun yang silam, dia terkenal banyak berdebat. Terkadang dia mulai berdebat dari setelah Isya’ sampai akhir malam. Ternyata pada akhirnya dia mendapatkan kegagalan, tidak menjaga waktu, tidak beristighfar, bertasbih, bertahlil, bangun malam, dan tidak melaksanakan bimbingan Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam.
Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam bukanlah pendebat. Tatkala Rasulullah shållallåhu ‘alayhi wa sallam pergi kerumah Fatimah dan Ali ketika beliau ingin membangunkan keduanya untuk sholat malam, beliau mengetuk pintu dan berkata :
”Tidaklah kalian bangun untuk melaksanakan sholat?”
‘Ali mengatakan :
”Sesungguhnya jiwa kami di Tangan Allah, Dia membangunkan sesuai kehendak-Nya.”
Beliau Sholallahu Alaihi Wa Sallam balik sambil memukul pahanya dan berkata :
وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا
” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”
(QS Al Kahfi :54 )
Rasulullah tidak mendebat Ali dan beliau menganggap bahwa apa yang dijawab Ali termasuk dari jidal (debat) dengan berdalilkan firman Allah :
وَكَانَ الإنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلا
” Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak mendebat/membantah.”
(QS Al Kahfi :54 )
Wahai penuntut ilmu jauhilah dari perdebatan, karena hal yang demikian itu menyebabkan kemurkaan dan kebencian di dalam hati. Katakan kepada temanmu apa yang kamu ketahui, kalau temanmu mengatakan tidak, kembalikanlah permasalahannya kepada Syaikhmu, dan sekali lagi menjauhlah kamu dari perdebatan, Rasulullah bersabda :
إذااختلفتم قي القران فقوموا – متفق عليه
“Apabila kalian berselisih di dalam Al Qur’an maka tinggalkan tempat tempat itu.”
(Muttafaqun Alaihi)
Apabila terjadi disuatu majelis perdebatan, satu menyatakan demikian yang lain menyatakan demikian, maka dengarkan sabda Rasulullah diatas dan janganlah kalian duduk ditempat itu dan jangan mencoba untuk membuka perdebatan. Berhati-hatilah kamu dari debat dan peliharalah waktumu, insya Allah kamu akan saling mencintai dan saling menyayangi.
[Disalin oleh Abu Aufa dari buku عشرون النصيحة الطالب العلم و الد ا عي إلى الله yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul ” 20 Mutiara Indah bagi penuntut Ilmu dan Da’i Ilallah“]
Maksud perkataan ‘ulama diatas
Syaikhul Islam berkata,
“Jadi,yang dimaksud larangan dalam berdebat adalah yang dilakukan oleh
- orang yang tidak memenuhi syarat untuk melakukan perdebatan (kurang ilmu dan lain-lain)
- atau perdebatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan yang pasti;
- berdebat dengan orang yang tidak menginginkan kebenaran,
- serta berdebat untuk saling unjuk kebolehan dan saling mengalahkan yang berujung dengan ujub (bangga diri) dan kesombongan.
Beliau melanjutkan,
“Jidal (adu hujjah) adalah masalah yang hukumnya belum pasti; dan untuk menentukan hukum tentang masalah ini, tergantung kepada kondisi yang ada. Sedangkan debat yang sesuai dengan syari’at, maka hukumnya terkadang wajib dan terkadang mustahab.
Kesimpulannya, debat itu terkadang terpuji dan terkadang tercela; terkadang membawa mafsadat (kerusakan) dan terkadang membawa mashlahat (kebaikan); terkadang merupakan sesuatu yang haq dan terkadang merupakan sesuatu yang bathil.”
Wallåhu ta’ala a’lamu bish shåwwab..


ADZAN TERAKHIR BILAL BIN RABAH

Pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) masuklah putri beliau Fathimah radhiyallahu anha ke dalam kamar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Dia menangis karena biasanya setiap kali dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu berdiri untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya:

”Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis. Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya:” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.

Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka bertanya kepada Fathimah : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah berkata: ”Pertama kalinya beliau berkata kepadaku: ”Wahai Fathimah, aku akan meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati tangisanku beliau kembali berkata kepadaku:” Engkau wahai Fathimah, adalah keluargaku yg pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun tertawa.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.

Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda:” Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda:” Mendekatlah kepadaku wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah radhiyallahu anha. ‘Aisyah berkata:” Beliau mengangkat tangan beliau seraya bersabda:” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.

Masuklah malaikat Jibril alaihis salam menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata:” Malaikat maut ada di pintu, meminta izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada seorangpun sebelummu.” Maka beliau berkata kepadanya:” Izinkan untuknya wahai Jibril.” Masuklah malaikat Maut seraya berkata:” Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di Akhirat.” Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:” Bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu :para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yang sebaik-baiknya.”

‘Aisyah menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a:

“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb yang ridha dan tidak murka.”

Sayyidah ‘Aisyah berkata:”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” Dia berkata:”Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar dari kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan kukatakan:” Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.” Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan radhiyallahu anhu seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata:” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yg paling tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata:”Wahai sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”

Keluarlah Abu Bakar menemui manusia dan berkata:” Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.”

Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.

Waktu shalat telah tiba.

Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.

“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”

Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.

“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”

Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.

“Asy…ha..du. .annna…”

Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh.

Tubuhnya mulai limbung.

Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.

Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.

Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu.

Ia pun membebas tugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya”.

Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak.

Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung.

Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”

Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat. Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.

Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”

Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.

Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk.

“Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..

Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.

Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”

“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”



Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.

“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”

Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.

“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”

Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”

Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”

Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?

“La ilaha illallah…”

Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.









Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.

Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Sementara itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”

Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”

Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti

Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil

Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah

Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.

Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat adzan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.

Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”

AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”



Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih di dunia.

Referensi:

- Biografi Ahlul Hadits, yang bersumber dari Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya.
POKOK-POKOK KESESATAN SYIAH
Asal-usul Syiah

Bismillaah...

Syiah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan. Sedangkan dalam istilah Syara', Syi'ah adalah suatu aliran yang timbul sejak pemerintahan Utsman bin Affan yang dikomandoi oleh Abdullah bin Saba', seorang Yahudi dari Yaman. Setelah terbunuhnya Utsman bin Affana, lalu Abdullah bin Saba' mengintrodusir ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan (baca: imamah) sesudah Nabi saw sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi n. Namun, menurut Abdullah bin Saba', Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut.

Keyakinan itu berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian mereka melarikan diri ke Madain.

Aliran Syi'ah pada abad pertama hijriyah belum merupakan aliran yang solid sebagai trend yang mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke-2 hijriyah dan abad-abad berikutnya.

Pokok-Pokok Penyimpangan Syiah pada Periode Pertama:

1. Keyakinan bahwa imam sesudah Rasulullah n adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi n. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib a.

2. Keyakinan bahwa imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa)

3. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari Kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.

4. Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghaib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.

5. Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba' dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib karena keyakinan tersebut.

6. Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut

7. Keyakinan mencaci maki para Sahabat atau sebagian Sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa' wal Firaq wal Bida' wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql hal. 237)

Pada abad ke-2 hijriyah, perkembangan keyakinan Syi'ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaini dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.

Pokok-Pokok Penyimpangan Syi'ah Secara Umum:

1. Pada Rukun Iman:

Syiah hanya memiliki 5 rukun iman, tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qadha dan Qadar- yaitu: 1. Tauhid (keesaan Allah), 2. Al-'Adl (keadilan Allah) 3. Nubuwwah (kenabian), 4. Imamah (kepemimpinan Imam), 5.Ma'ad (hari kebangkitan dan pembalasan). (Lihat 'Aqa'idul Imamiyah oleh Muhammad Ridha Mudhoffar dll)

2. Pada Rukum Islam:

Syiah tidak mencantumkan Syahadatain dalam rukun Islam, yaitu: 1.Shalat, 2.Zakat, 3.Puasa, 4.Haji, 5.Wilayah (perwalian) (lihat Al-Khafie juz II hal 18)

3. Syi'ah meyakini bahwa Al-Qur'an sekarang ini telah dirubah, ditambahi atau dikurangi dari yang seharusnya, seperti:

"wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna 'ala 'abdina FII 'ALIYYIN fa`tu bi shuratim mim mits lih (Al-Kafie, Kitabul Hujjah: I/417)
Ada tambahan "fii 'Aliyyin" dari teks asli Al-Qur'an yang berbunyi:
"wa inkuntum fii roibim mimma nazzalna 'ala 'abdina fa`tu bi shuratim mim mits lih" (Al-Baqarah:23)

Karena itu mereka meyakini bahwa: Abu Abdillah a.s (imam Syiah) berkata: "Al-Qur'an yang dibawa oleh Jibril a.s kepada Nabi Muhammad saw adalah 17.000 ayat (Al-Kafi fil Ushul Juz II hal.634). Al-Qur'an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi'ah Al-Kafi fil Ushul juz I hal 240-241 dan Fashlul Khithab karangan An-Nuri Ath-Thibrisy)

4. Syi'ah meyakini bahwa para Sahabat sepeninggal Nabi saw, mereka murtad, kecuali beberapa orang saja, seperti: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifary dan Salman Al-Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII hal.245, Al-Ushul minal Kafi juz II hal 244)

5. Syi'ah menggunakan senjata "taqiyyah" yaitu berbohong, dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabui (Al Kafi fil Ushul Juz II hal.217)

6. Syi'ah percaya kepada Ar-Raj'ah yaitu kembalinya roh-roh ke jasadnya masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat dikala imam Ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya.

7. Syi'ah percaya kepada Al-Bada', yakni tampak bagi Allah dalam hal keimaman Ismail (yang telah dinobatkan keimamannya oleh ayahnya, Ja'far As-Shadiq, tetapi kemudian meninggal disaat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka, Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum (terjaga).

8. Syiah membolehkan "nikah mut'ah", yaitu nikah kontrak dengan jangka waktu tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shadiqin Juz II hal.493). Padahal hal itu telah diharamkan oleh Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri.
PANDUAN PUASA RAMADHAN [2]

Syarat-syarat Orang yang Wajib Berpuasa

lbadah yang agung lagi mulia ini diwajibkan atas orang yang memiliki syarat sebagai berikut:
1. Muslim, karena puasa tidaklah diterima dari orang yang kafir.
2. Berakal. Puasa tidaklah diterima dari orang yang kesurupan dan orang gila.
3. Baligh. Anak kecil yang belum baligh tidaklah wajib melaksanakan puasa, walaupun orang tua diperintah untuk membiasakan anak-anaknya agar berpuasa sebelum ia baligh.
4. Mampu berpuasa. Tidak ada kewajiban berpuasa terhadap orang sakit, laki-laki dan perempuan tua, serta perempuan hamil atau yang sedang menyu¬sui sebagaimana rinciannya yang akan diuraikan dalam pembahasan-pembahasan yang akan datang.
5. Mukim, bukan musafir, karena musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa pada saat mela¬kukan perjalanan.
6. Tidak ada penghalang berupa haidh maupun nifas. Perempuan haidh atau nifas tidak boleh berpuasa sebelum bersih dari haid atau nifas tersebut.

Selasa, 25 Juni 2013


Bahaya Bid'ah ( Perkara Baru Dalam Agama )

Abu Musa Al As’ari Radhiyallahu 'anhu memasuki masjid Kufah, lalu didapatinya di masjid tersebut terdapat sejumlah orang membentuk halaqah-halaqah (duduk berkeliling). Pada setiap halaqah terdapat seorang Syaikh, dan didepan mereka ada tumpukan kerikil, lalu Syaikh tersebut menyuruh mereka (yang duduk di halaqah) : “Bertasbihlah (ucapkan subhanallah) seratus kali!”, lalu mereka pun bertasbih (menghitung) dengan kerikil tersebut. Lalu Syaikh itu berkata kepada mereka lagi : “Bertahmidlah (ucapkan alhamdulillah) seratus kali!” dan demikianlah seterusnya ……

Maka Abu Musa Radhiyallahu 'anhu mengingkari hal itu dalam hatinya dan ia tidak mengingkari dengan lisannya. Hanya saja ia bersegera pergi dengan berlari kecil menuju rumah Abdullah bin Mas’ud, lalu iapun mengucapkan salam kepada Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin mas’ud pun membalas salamnya. Berkatalah Abu Musa kepada Abu Mas’ud : “Wahai Abu Abdurrahman, sungguh baru saja saya memasuki masjid, lalu aku melihat sesuatu yang aku mengingkarinya, demi Allah tidaklah saya melihat melainkan kebaikan. Lalu Abu Musa menceritakan keadaan halaqah dzikir tersebut.

Maka berkatalah Abu Mas’ud kepada Abu Musa : “Apakah engkau memerintahkan mereka untuk menghitung kejelekan-kejelekan mereka? Dan engkau memberi jaminan mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang sedikitpun?!” Abu Musa pun menjawab : “ Aku tidak memerintahkan suatu apapun kepada mereka”. Berkatalah Abu Mas’ud : “Mari kita pergi menuju mereka”.

Lalu Abu Mas’ud mengucapkan salam kepada mereka. Dan mereka membalas salamnya. Berkatalah Ibnu Mas’ud :“Perbuatan apa yang aku lihat kalian melakukannya ini wahai Umat Muhammad?” mereka menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, ini adalah kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih, tahmid, dan tahlil, dan takbir”. Maka berkatalah Abu Mas’ud : “Alangkah cepatnya kalian binasa wahai Umat Muhammad, (padahal) para sahabat masih banyak yang hidup, dan ini pakaiannya belum rusak sama sekali, dan ini bejananya belum pecah, ataukah kalian ingin berada diatas agama yang lebih mendapat petunjuk dari agama Muhammad ? ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan? Mereka pun menjawab : “Wahai Abu Abdurrahman, demi Allah tidaklah kami menginginkan melainkan kebaikan”. Abu Mas’ud pun berkata :

"Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak mendapatkannya”.

Berkata Amru bin Salamah : “Sungguh aku telah melihat umumnya mereka yang mengadakan majelis dzikir itu memerangi kita pada hari perang “An Nahrawan” bersama kaum Khawarij”. (Riwayat Darimi dengan sanad shahih)

Aku (Syaikh Musa Nasr) berkata : “Firasat Ibnu Mas’ud terhadap mereka (yaitu ahli bid’ah yang mengadakan halaqah dzikir) benar, dimana ahli bid’ah itu bergabung bersama kaum khawarij disebabkan “terus menerusnya” mereka dalam kebid’ahan. Dan inilah akhir kesudahan seseorang yang “terus menerus” dalam kebid’ahannya, serta menyelisihi para sahabat nabi.

Akan tetapi mungkin seseorang di zaman kita berkata : “Apakah yang diingkari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu? Apakah berdzikir kepada Allah itu bid’ah?!! Kita katakan : “Maha suci Allah, jika dikatakan dzikir kepada-Nya adalah bid’ah, khususnya jika dzikir itu adalah dzikir yang disyariatkan, tetapi yang bid’ah hanyalah cara (berdzikir) dimana mereka berkumpul padanya, serta cara yang mereka lakukan dalam berdzikir kepada Allah, dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahanbat beliau tidak pernah mengamalkannya. Dan khawarij yang dicela oleh Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang mereka :

“Jika aku menjumpai mereka, niscaya benar-benar akan aku bunuh mereka sebagaimana pembunuhan terhadap kaum Ad” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

Sesungguhnya hanyalah Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam mengancam mereka dikarenakan perbuatan mereka yang bid’ah dan mungkar, yaitu : mereka mengkafirkan kaum muslimin lantaran perbuatan maksiyat, dan mereka menganggap kaum muslimin masuk neraka kekal (lantaran perbuatan maksiat) padahal (yang benar) pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka. Sebagaimana juga mereka mewajibkan bagi perempuan yang haid untuk mengganti shalat (yang ia tinggalkan ketika haid) sebagaimana ia mengganti puasa (Ramadhan jika ia haid pada waktu itu).

Maka mereka berbuat melampaui batas dalam agama mereka, dan mereka beramal dengan sangat membebani diri, bahkan mereka (yaitu khawari) telah khuruj (keluar) dari ketaatan kepada anak paman Rasulullah, menantu beliau Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu (ketika menjadi khalifah) bahkan mereka bunuh Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu 'anhu secara dhalim dan kedustaan.

Dan Nabi kita Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya Allah menahan taubat dari setiap ahli bid’ah hingga ia bertaubat dari kebid’ahannya”

Sedangkan lisan keadaan ahli bid’ah berkata : “Ini adalah agama Muhammad bin Abdullah”. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Imam Malik, dimana ia berkata :

“Barangsapa berbuat suatu kebid’ahan dalam agama Islam yang ia pandang baik maka sungguh ia menyangka bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Al Maidah 3). Maka apa saja yang pada waktu itu bukan agama tidaklah pada hari ini dianggap sebagai agama, dan tidak akan baik akhir umat ini melainkan dengan apa yang baik pada umat yang awal (para sahabat).”

Pelaku bid’ah diharamkan dari minum seteguk air yang nikmat dari tangannya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam dan dari telaganya yang mana telaga itu lebih putih dari salju dan lebih manis daripada madu.

Maka sungguh telah benar dari hadits Anas Radhiyallahu 'anhu ia berkata : Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam bersabda :

“Artinya : Benar-benar suatu kaum dari umatku akan ditolak dari telaga sebagaimana unta asing ditolak (dari kerumunan unta)”, maka aku berkata : “Ya Allah itu adalah umatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]

Maka demikianlah kesudahan akhir ahli bid’ah baik pada masa lampau atau masa sekarang, (Semoga Allah melindungi kita dari akhir kematiaan buruk seperti mereka). Maka apakah sadar mereka para ahli bid’ah pada setiap zaman dan tempat pada buruknya tempat kembali mereka? Maka hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dengan taubat “nasuha” (taubat yang murni), kita mengharapkan bagi mereka yang demikian itu.

Dan hanya Allah saja Dzat yang memberi petunjuk kepada jalan untuk ittiba’ (mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya).

Syaikh Muhammad Musa An-Nasr
[Diterjemahkan dari majalah al Ashalah edisi 27 halaman 17-18]